Wednesday, January 16, 2008

SoyaOhSoya

Kalau melihat berita di TV beberapa hari ini, selain berita tentang sakitnya pak Harto, berita lain yang cukup menghebohkan adalah naiknya harga kedelai yang menjadi bahan baku industri tahu dan tempe – makanan favorit orang Indonesia (favoritku juga) sang pendamping nasi. Namun ternyata kelangkaan kedelai ini tidak hanya mempengaruhi industri tahu dan tempe yang biasanya adalah industri kecil-menengah.

Perusahaan tempatku bekerja sekarang memproduksi biskuit dengan volume yang cukup besar. Apa hubungannya biskuit dengan kedelai? Bukan, biskuit yang diproduksi pabrikku bukan berbahan dasar kedelai, seperti salah satu biskuit yang iklannya kedelai berpantat besar yang menari-nari di TV. Biskuit di tempatku bekerja berbahan dasar tepung terigu (yang harganya juga semakin climbing up). Untuk membuat biskuit di pabrikku dibutuhkan suatu bahan yang mutlak ada yaitu emulsifier yang berfungsi untuk menjaga keseragaman dispersi antara minyak dana air-bahan baku selain terigu dalam industri biskuit. Emulsifier yang digunakan adalah soya lecithine, kenapa dipilih soya? Karena orang cenderung parno dengan lecithine hewani-berkaitan dengan isu halal-haram, sedangkan secara cost lecithine yang berasal dari kedelai cukup murah.

Jika dalam satu hari perusahaanku mengkonsumsi 0.5 ton lecithine (lecithine mengandung 35% soya bean oil), dan saat soya bean oil diekstrak dari biji kedelai (ekstrak = 2.5%) maka dalam sehari dibutuhkan sekitar 57 ton kedelai basah hanya untuk memenuhi kebutuhan lecithine satu pabrik. Bayangkan betapa besarnya konsumsi kedelai di dunia (belum untuk tofu, tahu, tempe, dll). –Pantes harga lecithine mahal-

Jadi minggu kemarin pabrik ini sungguh heboh. Biasanya kami menggunakan lecithine yang diimport dari AS, namun karena konversi lahan Soya-Corn untuk industri biofuel di sono, maka pasokan soya lecithine bisa dibilang nihil. Pusinglah om-om di procurement untuk mencari alternatif negara lain yang bisa menyediakan lecithine, sedangkan stock di WH sudah sangat menipis. Di saat2 kritis (yang hampir mengakibatkan pabrik stop) muncullah soya lecithine dari negeri-nya Ronaldo, hampir saja kami bernafas lega, namun ternyata lecithine dari Brazil ini tidak se OK lecithine AS. Lecithine dari Brazil memiliki tingkat emulsifiing yang lebih rendah dari AS. Akhirnya sepanjang minggu kemarin ada trial ini-itu untuk meng-adjust segala parameter agar si lecithine bisa digunakan. Dan untung trialnya cukup sukses. Maka sekarang kami menggunakan Lecithine dari Brazil namun tetap dengan warning DI BAWAH PENGAWASAN!


Jadi memang kedelai telah membuat panik banyak orang termasuk diriku. Tulisan ini hanya untuk memberikan pandangan berbeda tentang kelangkaan kedelai, tanpa maksud lain.

2 comments:

Anonymous said...

Iya nih, kedelai naik gak kira2, ato kita mesti beralih ke kecipir ya? Eniwei, ntar butuh PhD bidang dairy gak yah kotamu, Uswah?

UswaH said...

Kek kek ke sepertinya kecipir ide yang bagus.
Wah jangankan PhD Jim, orang biasa yang mau ngembangin potensi kotaku aja sangat welcomed :P
Interesting?